Negara
Indonesia merupakan negara yang demokratis dan Pancasila menjadi dasar negara. Keadilan
menjadi aspek yang sangat penting dalam negara Indonesia. Selain itu, negara
Indonesia juga menyatakan akan menegakkan desentralisasi melalui otonomi daerah
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18, 18A, 18B (Rahayu, 2015).
Menurut UUD 1945, Indonesia tidak hanya menjamin hak politik dan sipil melalui
prinsip menjamin kebebasan berbicara, berpendapat, berorganisasi, dan
berpolitik sesuai dengan yang tercantum pada pasal 27, 28, dan 29. Tetapi,
demokrasi Indonesia juga menjamin hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat
sesuai dengan yang tercantum pada pasal 31, 32, 33, dan 34.
Demokratisasi
Telekomunikasi/ Komunikasi dan Penyiaran
Tolok
ukur negara demokratis adalah adanya jaminan kemerdekaan berekspresi,
kemerdekaan berbicara, dan kemerdekaan pers (Rahayu, 2015). Namun, jaminan itu
saja tidak cukup, harus ada jaminan mengenai keragaman suara, keragaman konten,
dan keragaman kepemilikan. Jaminan keragaman tersebut membutuhkan praktik
keadilan. Dengan mengutamakan kepentingan nasional rakyat Indonesia, menghargai
seluruh warga negara, dan penghargaan terhadap kaum-kaum minoritas. Tanpa
adanya jaminan terhadap keberagaman, maka akan membuka peluang munculnya
otoritarianisme baru, yaitu dominasi asing dan oligopoli oleh orang-orang yang
mengatasnamakan kebebasan, dan membunuh demokrasi.
Regulasi Telekomunikasi
dan Penyiaran
Dalam
Undang-Undang Telekomunikasi menyatakan bahwa, penyelenggara telekomunikasi
terbagi menjadi tiga institusi, yaitu: Penyelenggara jaringan telekomunikasi,
Penyelenggara jasa telekomunikasi, dan Penyelenggara telekomunikasi khusus.
Indonesia sendiri membiarkan penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi
dikuasai oleh orang asing. Selain itu, regulasi membiarkan penyelenggara
jaringan untuk mengontrol dan memiliki penyelenggara jasa telekomunikasi.
Dunia
penyiaran dengan jelas menyatakan bahwa orang asing tidak boleh menguasai
lembaga penyiaran. Undang-Undang Telekomunikasi Indonesia bersifat liberal,
sedangkan Undang-Undang Penyiaran yang diharapkan dapat berpihak pada
kepentingan nasional dan publik belum dipraktikkan. Dalam Undang-Undang
Telekomunikasi saat ini, penyiaran dimasukkan sebagai penyelenggara telekomunikasi
khusus. Namun, penyiaran tidak dapat hanya disebut sebagai penyelenggara
telekomunikasi khusus. Hal ini dikarenakan oleh kompleksitas dan peranan
penyiaran sangat besar, salah satunya dalam membentuk opini publik.
Regulasi Media,
Khususnya Penyiaran
Pada
umumnya regulasi media diatur dengan melihat suatu media menggunakan ranah
publik (public domain) atau tidak. Contoh media yang tidak menggunakan
ranah publik adalah surat kabar, film, majalah, tabloid, dan buku. Media ini
menggunakan pengaturan yang berdasarkan prinsip pengaturan diri sendiri.
Sedangkan lembaga penyiaran yang menggunakan ranah publik yang free to air dan
terestrial, regulasi radio dan televisinya berlangsung dengan ketat. Di negara
Indonesia, memiliki regulator antara lain Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Lembaga-lembaga ini
saling bekerja sama satu dengan yang lain.
Regulasi
media elektronik yang menggunakan ranah publik dilakukan dengan ketat, karena
media elektronik menggunakan ranah publik, spektrum gelombang radio dalam
bentuk frekuensi dipergunakan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat dan
kesejahteraan publik, frekuensi yang digunakan bersifat terbatas, dan siaran
televisi dapat memasuki dan menembus ruang keluarga dengan serentak tanpa
diundang. Industri penyiaran diatur dengan ketat oleh undang-undang dan
bersifat khusus. Teknologi semakin hari semakin berkembang, dunia penyiaran
telah memasuki dunia digital. Namun, Undang-Undang Telekomunikasi belum banyak
mengatur tentang perkembangan teknologi digital dan konvergensi media, begitu
pula dengan Undang-Undang Penyiaran.
Undang-Undang
Telekomunikasi dan Penyiaran saling berkaitan. Dalam digitalisasi penyiaran
atau penyelenggara multipleksing, tidak boleh diserahkan kepada perusahaan
asing, Undang-Undang Telekomunikasi harus direvisi dan disesuaikan dengan
perkembangan teknologi, digitalisasi penyiaran harus ada dalam undang-undang
yang telah memperkirakan Undang-Undang Telekomunikasi dan perubahan zaman, dan
frekuensi yang tidak digunakan lagi diserahkan untuk kepentingan sosial.