Senin, 18 Maret 2019

KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI ERA KOLONIAL BELANDA DAN JEPANG


Pada era kolonial Belanda, pers menjadi salah satu alat yang digunakan untuk pemenuhan informasi yang dibutuhkan oleh aparat penjajah atau VOC. Perkembangan pers di Indonesia dimulai pada tahun 1744, ditandai dengan surat kabar pertama yang terbit, berjudul Bataviasch Nouvelles pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Van Imhoff. Namun, sayangnya surat kabar ini tidak bertahan lama, karena tidak memperoleh perizinan dari VOC. Surat kabar kedua muncul pada tahun 1776 dengan nama Vendu Nieuws oleh L. Dominicus sebagai penerbit, yang dimana kontennya sebagian besar merujuk pada iklan, dan berita pelelangan. Selama masa VOC, hanya dua surat kabar tersebut yang pernah terbit, dan sayangnya, Vendu Nieuws pun hanya bertahan hingga tahun 1809.
Tahun 1851, sebuah surat kabar berhasil didirikan lagi, yaitu Het Bataviasch Advertentie Blad, yang pernerbitannya bersifat mingguan dan isi kontennya berupa iklan serta berita-berita yang bersifat umum. Het Bataviasch Advertentie Blad didirikan oleh W. Bruining, H.M. van Dorp, van Hazen Noman, serta Kolff. surat kabar ini lalu digantikan oleh Java Bode pada tahun 1852, serta penerbitannya diubah menjadi penerbitan harian. Java Bode menjadi surat kabar resmi yang isinya sebagian besar tentang berita-berita yang berhubungan dengan pemerintahan, seperti peraturan, kebijakan, dan kinerja dalam pemerintahan. Surat kabar pun terus berkembang dari waktu ke waktu, di beberapa kota di Indonesia, seperti Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Cirebon, Kalimantan, dan kota-kota lainnya.
Pemerintah Belanda juga pernah mendeklarasikan tentang Persbreidel Ordoonantie dan Haatzaai Artikelenpada 7 September 1931. Persbreidel Ordoonantie merupakan suatu tindakan untuk memberhentikan penerbitan, peredaran, maupun penyiaran yang melawan hukum. Gubernur Jenderal juga diberikan hak istimewa untuk melarang penerbitan yang menurutnya dapat mengganggu ketertiban umum. Haatzaai Artikelen adalah pasal-pasal yang mencantumkan tentang hukum bagi siapa saja yang menjelek-jelekkan atau mencemarkan nama baik pemerintah  Belanda, yang berisi penyerangan atau kritik terhadap kolonialisme Belanda. Jika dikaitkan dengan pasal yang ada di Indonesia, Haatzaai Artikelen serupa dengan pasal 238-239 draf RUU KUHP.
Radio pertama di Indonesia yaitu Radio Republik Indonesia (RRI) memiliki keterkaitan dengan Solosche Rado Vereniging (SRV) yang berdiri pada 1 April 1933, dan merupakan hasil dari Perhimpunan Radio Omroep dengan RM Ir. Sarsito Mangunkusumo sebagai ketuanya.SRV diterima dengan baikk oleh Belanda, dan menerima perkembangan dalam jumlah anggota hingga mencapai 4.000 orang. SRV memiliki tiga program kerja, antara lain:
1.      Membentuk cabang penyiaran di kota-kota lain di Indonesia.
2.      Menjadi penyedia bagi keperluan penyiaran agar dapat menjangkau seluruh Indonesia.
3.      Menghasilkan konten yang berorientasi pada budaya Timur sesuai dengan segmentasi audiens dari SRV itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, SRV terus berkembang hingga ke berbagai kota di Indonesia, dengan perkembangan yang cukup pesat. Dinamika jumlah penonton dimulai dari 100 orang saat pertama kali didirikan, dan berangsur-angsur bertambah dari 1.500 orang, 2000 orang, 3000 orang, hingga mencapai 4000an orang di tahun 1940an. 4000 audiens SRV ini berasal dari berbagai kota yang ada di Indonesia bagian Barat seperti Medan, Jambi, Lampung, Bangka, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Pada bagian Timur, SRV mampu menjangkau audiens yang berasal dari Makassar, Sumbawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, serta Bali. SRV juga menjangkau hampir seluruh kota di Jawa, baik dari Barat, Tengah, dan Timur. SRV tersebar hampir di seluruh pulau besar di Indonesia, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, serta Sumba. Adapun beberapa alasan mengapa SRV mudah merambat ke seluruh wiayah Indonesia adalah karena:
1.      Jangkauan siaran SRV yang kuat karena sarana dan prasarana yang memadai, memancing banyak masyarakat untuk mengikuti jalan SRV.
2.      SRV menampilkan konten yang original dan kompetitif dengan radio yang dimiliki Belanda, ditambah dengan penggunaan bahasa daerah, bahasa Indonesia, konten mengenai kebudayaan dan kearifan lokal yang familiar bagi pendengarnya, sehingga menambah minat masyarakat untuk mendengarkan SRV.
3.      SRV aktif untuk membina dan mendukung sarana maupun prasarana dan pengelolaan bagi cabang-cabang radio SRV yang ada di luar kota Solo.
4.      SRV bersifat cukup terbuka dalam hal pengelolaan sehingga transparansi terjamin dan para anggota percaya dengan SRV.
SRV sempat dikhawatirkan akan dipandang sebagai salah satu keberhasilan dan ‘kebaikan’ dari kolonialisme Belanda. Namun, hal tersebut ditepis dengan konten-kontehn penyiarabn SRV yang bebas dan mandiri, sehingga memperlihatkan bahwa SRV merupakan media penyiaran yang asli merupakan hasil gagasan bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dalam beberapa aspek, diantaranya adalah:
1.      Kemandirian ide dan gagasan. SRV dibangun dengan berlandaskan rasa prihatin karena tidak ada media yang pernah mengangkat dan mempromosikan tentang budaya Indonesia atau budaya-budaya ketimuran.
2.      Kemandirian keuangan, dimana seluruh dana berasal dari anggota dan bantuan dari Indonesia sendiri, dan tidak berasal dari pemerintah Belanda. Dana dikumpulkan dengan sistem iuran anggota. Cara lain yang digunakan untuk menambah keuangan adalah dengan terus melakukan penambahan jumlah anggota. Dengan demikian, iuran juga akan bertambah dan dapat digunakan untuk biaya operasional.
3.      Sumber Daya Manusia yang independen. Maksudnya adalah, segala tenaga kerja yang digunakan dalam SRV berasal dari bangsa asli Indonesia dan sama sekali tidak menggunakan tenaga kerja dari pihak Belanda. SRV juga diuntungkan dengan ketua yang merupakan lulusan univeristas di Belgia sehingga dalam hal teknis, SRV telah terjamin.
Perkembangan SRV terus berjalan hingga datangnya pasukan Jepang, dan didirikannya Hoso Kyoku yang pertama di Solo, dan kemudian di Medan, Sumatera Utara. Hoso Kyoku merupakan media yang digunakan Jepang untuk menyebarkan semangat Jepang ke masyarakat Indonesia, melalui beberapa aturan, yaitu:
1.      Hoso Kyoku tidak boleh menyiarkan lagu-lagu Belanda maupun barat.
2.      Bahasa yang boleh digunakan dalam Hoso Kyokuhanyalah bahasa Jepang dan Indonesia.
3.      Hoso Kyoku menjadi sarana penyebaran Busyido Seisyin atau semangat Jepang yang taat dan hormat pada pemimpin, raaja, dan orang tua.
4.      Jepang banyak melakukan sensor dalam konten Hoso Kyoku.
5.      Pembelajaran Bahasa Jepang juga disebarkan melalui Hoso Kyoku.
Saat berada di Indonesia, Jepang banyak menggunakan media sebagai sarana untuk emngendalikan masyarakat Indonesia dan melakukan propaganda. Jepang banyak membawa masuk film-film yang berasal dari negaranya dan dipertontonkan di Jawa. Film-film tersebut banyak berisi tentang Jepang itu sendiri, budayanya, kebiasaan, pemikiran, dan ideologi yang mereka miliki. Hal tersebut berusaha ditanamkan di pemikiran bangsa Indonesia karena Jepang ingin bahwa pemikiran masyarakat Indonesia serupa dengan pemikiran Jepang. Jepang juga memanfaatkan media lain seperti drama, wayang, tarian, teater, nyanyian dan musik untuk menyukseskan propagandanya.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar