Pada era
kolonial Belanda, pers menjadi salah satu alat yang digunakan untuk pemenuhan
informasi yang dibutuhkan oleh aparat penjajah atau VOC. Perkembangan pers di
Indonesia dimulai pada tahun 1744, ditandai dengan surat kabar pertama yang
terbit, berjudul Bataviasch Nouvelles
pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Van Imhoff. Namun, sayangnya surat
kabar ini tidak bertahan lama, karena tidak memperoleh perizinan dari VOC.
Surat kabar kedua muncul pada tahun 1776 dengan nama Vendu Nieuws oleh L. Dominicus sebagai penerbit, yang dimana
kontennya sebagian besar merujuk pada iklan, dan berita pelelangan. Selama masa
VOC, hanya dua surat kabar tersebut yang pernah terbit, dan sayangnya, Vendu Nieuws pun hanya bertahan hingga
tahun 1809.
Tahun 1851,
sebuah surat kabar berhasil didirikan lagi, yaitu Het Bataviasch Advertentie Blad, yang pernerbitannya bersifat
mingguan dan isi kontennya berupa iklan serta berita-berita yang bersifat umum.
Het Bataviasch Advertentie Blad
didirikan oleh W. Bruining, H.M. van Dorp, van Hazen Noman, serta Kolff. surat
kabar ini lalu digantikan oleh Java Bode
pada tahun 1852, serta penerbitannya diubah menjadi penerbitan harian. Java Bode menjadi surat kabar resmi yang
isinya sebagian besar tentang berita-berita yang berhubungan dengan
pemerintahan, seperti peraturan, kebijakan, dan kinerja dalam pemerintahan.
Surat kabar pun terus berkembang dari waktu ke waktu, di beberapa kota di
Indonesia, seperti Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Cirebon, Kalimantan, dan
kota-kota lainnya.
Pemerintah
Belanda juga pernah mendeklarasikan tentang Persbreidel
Ordoonantie dan Haatzaai Artikelenpada
7 September 1931. Persbreidel Ordoonantie
merupakan suatu tindakan untuk memberhentikan penerbitan, peredaran, maupun
penyiaran yang melawan hukum. Gubernur Jenderal juga diberikan hak istimewa
untuk melarang penerbitan yang menurutnya dapat mengganggu ketertiban umum. Haatzaai Artikelen adalah pasal-pasal
yang mencantumkan tentang hukum bagi siapa saja yang menjelek-jelekkan atau
mencemarkan nama baik pemerintah
Belanda, yang berisi penyerangan atau kritik terhadap kolonialisme
Belanda. Jika dikaitkan dengan pasal yang ada di Indonesia, Haatzaai Artikelen serupa dengan pasal
238-239 draf RUU KUHP.
Radio pertama di
Indonesia yaitu Radio Republik Indonesia (RRI) memiliki keterkaitan dengan Solosche Rado Vereniging (SRV) yang
berdiri pada 1 April 1933, dan merupakan hasil dari Perhimpunan Radio Omroep
dengan RM Ir. Sarsito Mangunkusumo sebagai ketuanya.SRV diterima dengan baikk
oleh Belanda, dan menerima perkembangan dalam jumlah anggota hingga mencapai
4.000 orang. SRV memiliki tiga program kerja, antara lain:
1.
Membentuk cabang penyiaran di kota-kota lain di Indonesia.
2.
Menjadi penyedia bagi keperluan penyiaran agar dapat menjangkau seluruh
Indonesia.
3.
Menghasilkan konten yang berorientasi pada budaya Timur sesuai dengan
segmentasi audiens dari SRV itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu,
SRV terus berkembang hingga ke berbagai kota di Indonesia, dengan perkembangan
yang cukup pesat. Dinamika jumlah penonton dimulai dari 100 orang saat pertama
kali didirikan, dan berangsur-angsur bertambah dari 1.500 orang, 2000 orang,
3000 orang, hingga mencapai 4000an orang di tahun 1940an. 4000 audiens SRV ini
berasal dari berbagai kota yang ada di Indonesia bagian Barat seperti Medan,
Jambi, Lampung, Bangka, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Pada bagian
Timur, SRV mampu menjangkau audiens yang berasal dari Makassar, Sumbawa,
Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, serta Bali. SRV juga menjangkau hampir
seluruh kota di Jawa, baik dari Barat, Tengah, dan Timur. SRV tersebar hampir
di seluruh pulau besar di Indonesia, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Bali, serta Sumba. Adapun beberapa alasan mengapa SRV mudah merambat
ke seluruh wiayah Indonesia adalah karena:
1.
Jangkauan siaran SRV yang kuat karena sarana dan prasarana yang memadai,
memancing banyak masyarakat untuk mengikuti jalan SRV.
2.
SRV menampilkan konten yang original dan kompetitif dengan radio yang
dimiliki Belanda, ditambah dengan penggunaan bahasa daerah, bahasa Indonesia,
konten mengenai kebudayaan dan kearifan lokal yang familiar bagi pendengarnya,
sehingga menambah minat masyarakat untuk mendengarkan SRV.
3.
SRV aktif untuk membina dan mendukung sarana maupun prasarana dan
pengelolaan bagi cabang-cabang radio SRV yang ada di luar kota Solo.
4.
SRV bersifat cukup terbuka dalam hal pengelolaan sehingga transparansi
terjamin dan para anggota percaya dengan SRV.
SRV sempat dikhawatirkan
akan dipandang sebagai salah satu keberhasilan dan ‘kebaikan’ dari kolonialisme
Belanda. Namun, hal tersebut ditepis dengan konten-kontehn penyiarabn SRV yang
bebas dan mandiri, sehingga memperlihatkan bahwa SRV merupakan media penyiaran
yang asli merupakan hasil gagasan bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dalam
beberapa aspek, diantaranya adalah:
1.
Kemandirian ide dan gagasan. SRV dibangun dengan berlandaskan rasa
prihatin karena tidak ada media yang pernah mengangkat dan mempromosikan
tentang budaya Indonesia atau budaya-budaya ketimuran.
2.
Kemandirian keuangan, dimana seluruh dana berasal dari anggota dan
bantuan dari Indonesia sendiri, dan tidak berasal dari pemerintah Belanda. Dana
dikumpulkan dengan sistem iuran anggota. Cara lain yang digunakan untuk
menambah keuangan adalah dengan terus melakukan penambahan jumlah anggota.
Dengan demikian, iuran juga akan bertambah dan dapat digunakan untuk biaya
operasional.
3.
Sumber Daya Manusia yang independen. Maksudnya adalah, segala tenaga kerja
yang digunakan dalam SRV berasal dari bangsa asli Indonesia dan sama sekali
tidak menggunakan tenaga kerja dari pihak Belanda. SRV juga diuntungkan dengan
ketua yang merupakan lulusan univeristas di Belgia sehingga dalam hal teknis,
SRV telah terjamin.
Perkembangan SRV
terus berjalan hingga datangnya pasukan Jepang, dan didirikannya Hoso Kyoku yang pertama di Solo, dan
kemudian di Medan, Sumatera Utara. Hoso
Kyoku merupakan media yang digunakan Jepang untuk menyebarkan semangat
Jepang ke masyarakat Indonesia, melalui beberapa aturan, yaitu:
1.
Hoso Kyoku tidak boleh menyiarkan
lagu-lagu Belanda maupun barat.
2.
Bahasa yang boleh digunakan dalam Hoso
Kyokuhanyalah bahasa Jepang dan Indonesia.
3.
Hoso Kyoku menjadi sarana penyebaran Busyido Seisyin atau semangat Jepang
yang taat dan hormat pada pemimpin, raaja, dan orang tua.
4.
Jepang banyak melakukan sensor dalam konten Hoso Kyoku.
5.
Pembelajaran Bahasa Jepang juga disebarkan melalui Hoso Kyoku.
Saat berada di Indonesia,
Jepang banyak menggunakan media sebagai sarana untuk emngendalikan masyarakat
Indonesia dan melakukan propaganda. Jepang banyak membawa
masuk film-film yang berasal dari negaranya dan dipertontonkan di Jawa.
Film-film tersebut banyak berisi tentang Jepang itu sendiri, budayanya,
kebiasaan, pemikiran, dan ideologi yang mereka miliki. Hal tersebut berusaha
ditanamkan di pemikiran bangsa Indonesia karena Jepang ingin bahwa pemikiran
masyarakat Indonesia serupa dengan pemikiran Jepang. Jepang juga memanfaatkan
media lain seperti drama, wayang, tarian, teater, nyanyian dan musik untuk
menyukseskan propagandanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar