Kebijakan Komunikasi di Era Reformasi (Bagian I : Pers)
Reformasi adalah usaha untuk menyesuaikan praktik-praktik politik, pemerintah,
ekonomi, serta sosial budaya yang dianggap tidak sesuai oleh masyarakat dan
aspirasi masyarakat diubah menjadi lebih baik. Reformasi berhubungan dengan
keinginan akan perubahan dari masa yang sedang dihadapi. Beberapa faktor yang
mendasari adanya era reformasi antara lain yang pertama adalah krisis politik
contohnya saat pemerintahan Soeharto. Demokrasi pada saat itu hanya dibuat
untuk kepentingan pemerintah. Krisis terebut memiliki ciri-ciri kehidupan
politik yang represif yaitu:
1. Setiap orang
atau kelompok ikut mengkritik kebijakan pemerintah dan dituduh sebagai tindakan subversif.
2. Terjadi
korupsi, dan nepotsime
3. Lima paket
UU politik yang melahirkan demokrasi semu
4. DWI fungsi
ABRI
5. Masa
kekuasaan presiden yang tidak terbatas
Yang kedua adalah krisis hukum yang terjadi
dikarenakan penyalah gunaan hukum yang malah dijadikan sebagai alat pembenaran
bagi para penguasa. Hal tersebut bertentangan dengan pasal 24 UUD 1945 yaitu
kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dari kekuasaan pemerintahan. Ketiga,
krisis ekonomi yaitu adanya krisis moneter yang melanda negara. Di Indonesia
pada saat itu membuat nilai tukar rupiah terhadap dollar mejadi sangat rendah.
Sedangkan yang keempat adalah krisis sosial yang terjadi karena adanya krisis
poitik, hukum, dan ekonomi. Ketiga krisis tersebut menimbulkan adanya kerusuhan
di beberapa daerah. Kelima, krisi kepercayaan, krisis ini ditunjukan dengan
adanya penurunan kepercayaan masyarakat terhadap Suharto larena krisi
multidimensional yang melanda Indonesia. Krisis kepercayaan juga terjadi karena
ketidakmapuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang demokratis.
Kebijakan Informasi dan Komunikasi di Era Reformasi
1. B.J Habibie
(21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999)
B.J. Habibie mengggantikan Soeharto yang
mengundurkan diri sebagai presiden. Pada masa pemerintahan ada Ia memberlakukan
kebijakan pers, yaitu UU no.40tahun 1999. UU No. 40 tahun 1999 berisi
mengenai pencabutan pembredelan pers pada pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 tahun 1999,
penyederhanaan permohonan SIUPP pada pasal 9 ayat 2 UU No. 40 Tahun
1999. Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999, dan Mencabut SK Menpen Nomor
47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya
organisasi wartawan di Indonesia.Kebebasan pers pada masa ini mengakibatkan
terjadinya trial by the press (pengadilan oleh pers) yaitu berita atau tulisan
dengan gambar tertuduh dalam suatu perkara pidana yang memberi kesan bersalah.
Selain itu juga mengakibatkan self censhorsip, yaitu keadaan dimana media
kurang mempertimbangkan selera dari masyarakat, media kurang ideal dalam
tayangannya, dan kurang mempertimbangkan apakah tayangan tersebut layak atau
tidak ditayangkan untuk masyarakat.
2. K.H.
Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001)
Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab
disapa Gus Dur, selama masa jabatannya menyumbangkan kebijakan
yang berpengaruh terhadap pers. Beliau memutuskan untuk membubarkan dan
menghapus Departemen Penerangan dan menggantinya dengan BIKN (Badan Informasi
dan Komunikasi Nasional) pada 7 Desember 1999. Hal itu didasarkan oleh Keppres
Nomor 153 Tahun 1999, sebagai pengganti Departemen Penerangan, yang kemudian
menjadi cikal bakal terbentuknya Kominfo.
3. Megawati
Soekarno Puteri (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004)
Presiden Megawati Soekarno Puteri dilantik
menjadi Presiden RI pada tanggal 23 Juli 2001. Dalam dunia pers beliau
melakukan beberapa kebijakan, salah satunya menetapkan Kementerian Negara
Komunikasi dan Informasi pada tahun 2001. Saat itu yang ditunjuk sebagai
Menteri Negara adalah Syamsul Mu’arif.
Selain itu juga dibentuklah Lembaga Informasi Nasional (LIN). LIN mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pelayanan informasi nasional. Selain
itu, saat itu wewenang Kominfo dalam hal konten penyiaran dialihkan ke lembaga
independen baru bernama Komisi Penyiaran Indonesia yang didirikan melalui UU no.
32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
4. Susilo
Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014)
Susilo Bambang Yudhoyono atau biasa dipangil
SBY menjabat sebagai presiden selama dua periode yaitu dari 2004-2009 dan
2009-2014. SBY menetapkan pers yang bebas namun bertanggung jawab. Kepemimpinan
SBY juga memperoleh kebijakan yaitu menggabungkan Kementerian Negara Komunikasi
dan Informasi, Lembaga Informasi Nasional, dan Direktorat Jenderal Pos dan
Telekomunikasi yang berasal dari Departemen Perhubungan dan ditambahkannya
direktorat jenderal baru yaitu Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika..
Lembaga Informasi Nasional dipecahnya menjadi dua yaitu Ditjen Sarana Komunikasi
dan Diseminasi Informasi dan Badan Informasi Publik. Hasil seluruh penggabungan
ini bernama Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo). Pada tahun 2008
juga dibentuk mitra baru Kominfo yaitu Komisi Informasi yang dibentuk
berdasarkan UU no. 14 tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik.
5. Joko
Widodo (20 Oktober 2014 – Sekarang)
Pada masa pemerintahan Jokowi, pers
dinilai masih rendah karena perlindungan wartawan masih buruk. Adanya
kebijakan clearing house, dikenal sebagai prosedur yang berbelit karena
prosesnya yang lama. Pada Tahun 2016 dilakukan revisi terhadap UU ITE.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar