Senin, 29 April 2019

KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI ERA REFORMASI (BAGIAN I : PERS)


Kebijakan Komunikasi di Era Reformasi (Bagian I : Pers)        

            Reformasi adalah usaha untuk menyesuaikan praktik-praktik politik, pemerintah, ekonomi, serta sosial budaya yang dianggap tidak sesuai oleh masyarakat dan aspirasi masyarakat diubah menjadi lebih baik. Reformasi berhubungan dengan keinginan akan perubahan dari masa yang sedang dihadapi. Beberapa faktor yang mendasari adanya era reformasi antara lain yang pertama adalah krisis politik contohnya saat pemerintahan Soeharto. Demokrasi pada saat itu hanya dibuat untuk kepentingan pemerintah. Krisis terebut memiliki ciri-ciri kehidupan politik yang represif yaitu:
1.      Setiap orang atau kelompok ikut mengkritik kebijakan pemerintah dan dituduh sebagai tindakan subversif.
2.      Terjadi korupsi, dan nepotsime
3.      Lima paket UU politik yang melahirkan demokrasi semu
4.      DWI fungsi ABRI
5.      Masa kekuasaan presiden yang tidak terbatas

Yang kedua adalah krisis hukum yang terjadi dikarenakan penyalah gunaan hukum yang malah dijadikan sebagai alat pembenaran bagi para penguasa. Hal tersebut bertentangan dengan pasal 24 UUD 1945 yaitu kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dari kekuasaan pemerintahan. Ketiga, krisis ekonomi yaitu adanya krisis moneter yang melanda negara. Di Indonesia pada saat itu membuat nilai tukar rupiah terhadap dollar mejadi sangat rendah. Sedangkan yang keempat adalah krisis sosial yang terjadi karena adanya krisis poitik, hukum, dan ekonomi. Ketiga krisis tersebut menimbulkan adanya kerusuhan di beberapa daerah. Kelima, krisi kepercayaan, krisis ini ditunjukan dengan adanya penurunan kepercayaan masyarakat terhadap Suharto larena krisi multidimensional yang melanda Indonesia. Krisis kepercayaan juga terjadi karena ketidakmapuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang demokratis.

Kebijakan Informasi dan Komunikasi di Era Reformasi

1.      B.J Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999)
B.J. Habibie mengggantikan Soeharto yang mengundurkan diri sebagai presiden. Pada masa pemerintahan ada Ia memberlakukan kebijakan pers, yaitu UU no.40tahun 1999. UU No. 40 tahun 1999 berisi mengenai pencabutan pembredelan pers pada pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 tahun 1999, penyederhanaan permohonan SIUPP pada pasal 9 ayat 2 UU No. 40 Tahun 1999. Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999, dan Mencabut SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.Kebebasan pers pada masa ini mengakibatkan terjadinya trial by the press (pengadilan oleh pers) yaitu berita atau tulisan dengan gambar tertuduh dalam suatu perkara pidana yang memberi kesan bersalah. Selain itu juga mengakibatkan self censhorsip, yaitu keadaan dimana media kurang mempertimbangkan selera dari masyarakat, media kurang ideal dalam tayangannya, dan kurang mempertimbangkan apakah tayangan tersebut layak atau tidak ditayangkan untuk masyarakat.

2.      K.H. Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001)
Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Dur, selama masa  jabatannya menyumbangkan kebijakan yang berpengaruh terhadap pers. Beliau memutuskan untuk membubarkan dan menghapus Departemen Penerangan dan menggantinya dengan BIKN (Badan Informasi dan Komunikasi Nasional) pada 7 Desember 1999. Hal itu didasarkan oleh Keppres Nomor 153 Tahun 1999, sebagai pengganti Departemen Penerangan, yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Kominfo.

3.      Megawati Soekarno Puteri (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004)
Presiden Megawati Soekarno Puteri dilantik menjadi Presiden RI pada tanggal 23 Juli 2001. Dalam dunia pers beliau melakukan beberapa kebijakan, salah satunya menetapkan Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi pada tahun 2001. Saat itu yang ditunjuk sebagai Menteri Negara adalah Syamsul Mu’arif. Selain itu juga dibentuklah Lembaga Informasi Nasional (LIN). LIN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pelayanan informasi nasional. Selain itu, saat itu wewenang Kominfo dalam hal konten penyiaran dialihkan ke lembaga independen baru bernama Komisi Penyiaran Indonesia yang didirikan melalui UU no. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

4.      Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014)
Susilo Bambang Yudhoyono atau biasa dipangil SBY menjabat sebagai presiden selama dua periode yaitu dari 2004-2009 dan 2009-2014. SBY menetapkan pers yang bebas namun bertanggung jawab. Kepemimpinan SBY juga memperoleh kebijakan yaitu menggabungkan Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi, Lembaga Informasi Nasional, dan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi yang berasal dari Departemen Perhubungan dan ditambahkannya direktorat jenderal baru yaitu Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika.. Lembaga Informasi Nasional dipecahnya menjadi dua yaitu Ditjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi dan Badan Informasi Publik. Hasil seluruh penggabungan ini bernama Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo). Pada tahun 2008 juga dibentuk mitra baru Kominfo yaitu Komisi Informasi yang dibentuk berdasarkan UU no. 14 tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik.

5.       Joko Widodo (20 Oktober 2014 – Sekarang)
 Pada masa pemerintahan Jokowi, pers dinilai masih rendah karena perlindungan wartawan masih buruk. Adanya kebijakan clearing house, dikenal sebagai prosedur yang berbelit karena prosesnya yang lama. Pada Tahun 2016 dilakukan revisi terhadap UU ITE.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar