Sabtu, 23 Maret 2019

KEBIJAKAN KOMUNIKASI PASCA PROKLAMASI


A.    Sejarah Pers
            Sejarah Pers Indonesia dimulai pada bulan Agustus, dimana terjadi banyak peralihan kantor percetakan Jepand yang akhirnya dikuasai oleh rakyat. Salah satu kantor percetakan tersebut adalah kantor Midrukkerij, yang akhirnya berubah menjadi Djatinegara Inatsu Kojo. Midrukkerij sendiri dulunya merupakan milik Belanda sebelum akhirnya diambil alih oleh Jepang. Kantor percetakan lainnya yang juga berhasil diambil alih yaitu Drukkerij Kolff Buning yang berada di Yogyakarta, dan berubah menjadi Percetakan Negara. Kantor-kantor percetakan yang telah diambil alih ini mencetak berbagai surat kabar, majalah, brosur, dan lain-lain yang bertujuan untuk memberitahu masyarakat Indonesia tentang perjuangan bangsa melawan penjajahan tentara Belanda. Adapun tujuan dilaksanakannya hal ini adalah agar masyarakat Indonesia terus  mendukung dan aktif berpartisipasi dalam tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan.
            Setelah kembalinya para sekutu, kantor-kantor percetakan ini menjalankan peran mereka sebagai sumber informasi bagi rakyat Indonesia untuk mengambil langkah-langkah atau tindakan-tindakan tertentu. Salah satu tindakan yang berhasil melalui publikasi media cetak yaitu meninggalkan Bandung pada tanggal 23 Maret 1946. Bukan hanya melalui majalah atau koran, aksi-aksi pemberitahuan tersebut juga dilakukan melalui pemasangan selebaran atau poster, meskipun hal tersebut beresiko untuk ditangkap musuh, ditambah dengan transportasi yang masih sangat terbatas pada masa itu. Media cetak tidak hanya melakukan publikasi tentang gerakan politik, tapi juga mengenai pendidikan. Cara yang dilakukan adalah dengan memasukkan konten mengenai pendidikan di majalah darurat, dengan tujuan agar masyarakat selalui memiliki kesadaran nasional dalam diri mereka, dan untuk menanamkan kesadaran hidup bernegara yang pada saat itu belum ada dalam diri bangsa Indonesia.
B.     Pers Kalimantan Sesudah Tahun 1945
            Kalimantan Selatan sesudah tahun 1945 memiliki beberapa media surat kabar yang berkembang dan tersimpan di berbagai perpustakaan di berbagai daerah, seperti Perpustakaan Nasional Jakarta, serta Perpustakaan Islam yang terletak di Yogyakarta. Setelah kekalahan Jepang terhadap sekutu, daerah Kalimantan tidak ada penguasa atau terjadi kekosongan kekuatan, yang disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya yaitu:
-          Kesatuan Pembela Tanah Air (PETA) serta para pemuda dari organisasi militer di Jawa dan Sumatra memiliki andil yang cukup besar dalam proses perebutan kekuasaan dari Jepang. Kekosongan kekuasaan di Kalimantan pada akhirnya menjadi kesempatan atau peeluang besar bagi Belanda untuk memperoleh kekuasaan kembali setelah dikuasai oleh Jepang, yang mengakibatkan Kalimantan cukup rawan, berbeda dengan Sumatera dan Jawa.
-          Para tokoh pejuang atau pemimpin nasionalis banyak yang dibunuh oleh Jepang pada masa kekuasaannya, sehingga jumlah penduduk yang ada di Kalimantan sangatlah sedikit.
-          Adanya dominasi oleh satu media saja yaitu Borneo Shimbun, yang menjadi satu-satunya media massa yang diijinkan terbit oleh Jepang pada masa itu. Sehingga, tidak ada penanaman nilai-nilai nasionalis yang ditanamkan pada bangsa Indonesia.
-          Situasi dan kondisi Kalimantan yang tidak kondusif membuka peluang besar bagi Belanda untuk berkuasa kembali dengan bantuan militer.
-          Borneo Shimbun yang akhirnya digantikan oleh harian Soeara Kalimantan yang dikuasai atau dimiliki oleh Belanda mengakibatkan konten dalam terbitan Soeara Kalimantan sepenuhnya dikuasai oleh Belanda.
Terdapat juga beberapa surat kabar dan majalah yang cukup tidak koorperatif pada periode perjuangan kemerdekaan 1945-1949, diantaranya yaitu:
-          Majalah “Republik”
Majalah “Republik” pertama kali diterbitkan pada 17 Agustus 1946 di Kalimantan Selatan. Sebagian besar isi majalah ini berisi tentang perjuangan Republik Indonesia untuk mempertahankan Kalimantan Selatan agar tetap menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia.
-          Harian “Kalimantan Berjoang”
Harian “Kalimantan Berjoang” yang juga dikenal dengan Ka-Be memiliki haluan nasionalis. Harian “Kalimantan Berjoang” pertama kali diterbitkan pada 1 Oktober 1946 dengan tujuan untuk memperjuangkan cita-cita bangsa serta untuk mengimbangi atau menyaingi propaganda yang dilakukan Belanda melalui Soeara Kalimantan.
-          Harian “Terompet Rakjat”
Harian “Terompet Rakjat” pertama kali diterbitkan pada 2 Desember 1946 tentang pertahanan yang dilakukan Indonesia. Namun, harian ini akhirnya dibredel pihak penguasa pada 18 Desember 1948.
Surat kabar dan majalah koorperatif pada periode 1945-1946:
-          Harian Soeara Kalimantan
Harian Soeara Kalimantan pertama kali diterbitkan penguasa Belanda pada tahun 1945 yang sebelumnya adalah Borneo Shimbun pada masa kolonial Jepang. Harian Soeara Kalimantan berisi tentang berbagai berita-berita daerah serta nasional, dan tentang kerjasama Indonesia dengan Belanda dalam proses pendirian negara.

C.    Kasus Indonesia Raya

Setelah era kemerdekaan Indonesia, koran Indonesia Raya memiliki posisi yang cukup unik diantara masyarakat yang bersifat majemuk. Hal ini disebabkan koran Indonesia Raya adalah koran yang bersifat cukup kontroversial yang seakan akan dalam penyajian beritanya tidak memiliki sensor, dan selalu menampilkan kritikan yang bersifat tajam, terbuka, dan langsung, dengan penggunaan bahasa sehari-hari dan bukan formal, tanpa melakukan proses penghalusan bahasa. Koran Indonesia raya juga terkenal karena gaya penulisan yang cukup tidak ada pamrih terhadap subjek yang ditulisnya, karena apa yang ditulis oleh Indonesia raya dapat menimbulkan berbagai persepsi serta perbedaan penerimaan pihak yang diberitakan. Hal ini dapat dilihat sejak  masa penerbitan periode pertama pada tahun 1949-1958, lima wartawan koran Indonesia Raya pernah dipenjarakan. Setelah itu,  pada 2 tahun terakhir yaitu pada tahun 1957-1958, Indonesia Raya “dibredel” oleh pemerintah sebanyak enam kali. Meski demikian, koran Indonesia Raya tetap memunculkan image bahwa Indonesia Raya adalah koran yang menjunjung tinggi idealisme diatas keperluan bisnis. Indonesia Raya menyampaikan pemberitaan secara penuh dan jujur



Senin, 18 Maret 2019

KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI ERA KOLONIAL BELANDA DAN JEPANG


Pada era kolonial Belanda, pers menjadi salah satu alat yang digunakan untuk pemenuhan informasi yang dibutuhkan oleh aparat penjajah atau VOC. Perkembangan pers di Indonesia dimulai pada tahun 1744, ditandai dengan surat kabar pertama yang terbit, berjudul Bataviasch Nouvelles pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Van Imhoff. Namun, sayangnya surat kabar ini tidak bertahan lama, karena tidak memperoleh perizinan dari VOC. Surat kabar kedua muncul pada tahun 1776 dengan nama Vendu Nieuws oleh L. Dominicus sebagai penerbit, yang dimana kontennya sebagian besar merujuk pada iklan, dan berita pelelangan. Selama masa VOC, hanya dua surat kabar tersebut yang pernah terbit, dan sayangnya, Vendu Nieuws pun hanya bertahan hingga tahun 1809.
Tahun 1851, sebuah surat kabar berhasil didirikan lagi, yaitu Het Bataviasch Advertentie Blad, yang pernerbitannya bersifat mingguan dan isi kontennya berupa iklan serta berita-berita yang bersifat umum. Het Bataviasch Advertentie Blad didirikan oleh W. Bruining, H.M. van Dorp, van Hazen Noman, serta Kolff. surat kabar ini lalu digantikan oleh Java Bode pada tahun 1852, serta penerbitannya diubah menjadi penerbitan harian. Java Bode menjadi surat kabar resmi yang isinya sebagian besar tentang berita-berita yang berhubungan dengan pemerintahan, seperti peraturan, kebijakan, dan kinerja dalam pemerintahan. Surat kabar pun terus berkembang dari waktu ke waktu, di beberapa kota di Indonesia, seperti Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Cirebon, Kalimantan, dan kota-kota lainnya.
Pemerintah Belanda juga pernah mendeklarasikan tentang Persbreidel Ordoonantie dan Haatzaai Artikelenpada 7 September 1931. Persbreidel Ordoonantie merupakan suatu tindakan untuk memberhentikan penerbitan, peredaran, maupun penyiaran yang melawan hukum. Gubernur Jenderal juga diberikan hak istimewa untuk melarang penerbitan yang menurutnya dapat mengganggu ketertiban umum. Haatzaai Artikelen adalah pasal-pasal yang mencantumkan tentang hukum bagi siapa saja yang menjelek-jelekkan atau mencemarkan nama baik pemerintah  Belanda, yang berisi penyerangan atau kritik terhadap kolonialisme Belanda. Jika dikaitkan dengan pasal yang ada di Indonesia, Haatzaai Artikelen serupa dengan pasal 238-239 draf RUU KUHP.
Radio pertama di Indonesia yaitu Radio Republik Indonesia (RRI) memiliki keterkaitan dengan Solosche Rado Vereniging (SRV) yang berdiri pada 1 April 1933, dan merupakan hasil dari Perhimpunan Radio Omroep dengan RM Ir. Sarsito Mangunkusumo sebagai ketuanya.SRV diterima dengan baikk oleh Belanda, dan menerima perkembangan dalam jumlah anggota hingga mencapai 4.000 orang. SRV memiliki tiga program kerja, antara lain:
1.      Membentuk cabang penyiaran di kota-kota lain di Indonesia.
2.      Menjadi penyedia bagi keperluan penyiaran agar dapat menjangkau seluruh Indonesia.
3.      Menghasilkan konten yang berorientasi pada budaya Timur sesuai dengan segmentasi audiens dari SRV itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, SRV terus berkembang hingga ke berbagai kota di Indonesia, dengan perkembangan yang cukup pesat. Dinamika jumlah penonton dimulai dari 100 orang saat pertama kali didirikan, dan berangsur-angsur bertambah dari 1.500 orang, 2000 orang, 3000 orang, hingga mencapai 4000an orang di tahun 1940an. 4000 audiens SRV ini berasal dari berbagai kota yang ada di Indonesia bagian Barat seperti Medan, Jambi, Lampung, Bangka, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Pada bagian Timur, SRV mampu menjangkau audiens yang berasal dari Makassar, Sumbawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, serta Bali. SRV juga menjangkau hampir seluruh kota di Jawa, baik dari Barat, Tengah, dan Timur. SRV tersebar hampir di seluruh pulau besar di Indonesia, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, serta Sumba. Adapun beberapa alasan mengapa SRV mudah merambat ke seluruh wiayah Indonesia adalah karena:
1.      Jangkauan siaran SRV yang kuat karena sarana dan prasarana yang memadai, memancing banyak masyarakat untuk mengikuti jalan SRV.
2.      SRV menampilkan konten yang original dan kompetitif dengan radio yang dimiliki Belanda, ditambah dengan penggunaan bahasa daerah, bahasa Indonesia, konten mengenai kebudayaan dan kearifan lokal yang familiar bagi pendengarnya, sehingga menambah minat masyarakat untuk mendengarkan SRV.
3.      SRV aktif untuk membina dan mendukung sarana maupun prasarana dan pengelolaan bagi cabang-cabang radio SRV yang ada di luar kota Solo.
4.      SRV bersifat cukup terbuka dalam hal pengelolaan sehingga transparansi terjamin dan para anggota percaya dengan SRV.
SRV sempat dikhawatirkan akan dipandang sebagai salah satu keberhasilan dan ‘kebaikan’ dari kolonialisme Belanda. Namun, hal tersebut ditepis dengan konten-kontehn penyiarabn SRV yang bebas dan mandiri, sehingga memperlihatkan bahwa SRV merupakan media penyiaran yang asli merupakan hasil gagasan bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dalam beberapa aspek, diantaranya adalah:
1.      Kemandirian ide dan gagasan. SRV dibangun dengan berlandaskan rasa prihatin karena tidak ada media yang pernah mengangkat dan mempromosikan tentang budaya Indonesia atau budaya-budaya ketimuran.
2.      Kemandirian keuangan, dimana seluruh dana berasal dari anggota dan bantuan dari Indonesia sendiri, dan tidak berasal dari pemerintah Belanda. Dana dikumpulkan dengan sistem iuran anggota. Cara lain yang digunakan untuk menambah keuangan adalah dengan terus melakukan penambahan jumlah anggota. Dengan demikian, iuran juga akan bertambah dan dapat digunakan untuk biaya operasional.
3.      Sumber Daya Manusia yang independen. Maksudnya adalah, segala tenaga kerja yang digunakan dalam SRV berasal dari bangsa asli Indonesia dan sama sekali tidak menggunakan tenaga kerja dari pihak Belanda. SRV juga diuntungkan dengan ketua yang merupakan lulusan univeristas di Belgia sehingga dalam hal teknis, SRV telah terjamin.
Perkembangan SRV terus berjalan hingga datangnya pasukan Jepang, dan didirikannya Hoso Kyoku yang pertama di Solo, dan kemudian di Medan, Sumatera Utara. Hoso Kyoku merupakan media yang digunakan Jepang untuk menyebarkan semangat Jepang ke masyarakat Indonesia, melalui beberapa aturan, yaitu:
1.      Hoso Kyoku tidak boleh menyiarkan lagu-lagu Belanda maupun barat.
2.      Bahasa yang boleh digunakan dalam Hoso Kyokuhanyalah bahasa Jepang dan Indonesia.
3.      Hoso Kyoku menjadi sarana penyebaran Busyido Seisyin atau semangat Jepang yang taat dan hormat pada pemimpin, raaja, dan orang tua.
4.      Jepang banyak melakukan sensor dalam konten Hoso Kyoku.
5.      Pembelajaran Bahasa Jepang juga disebarkan melalui Hoso Kyoku.
Saat berada di Indonesia, Jepang banyak menggunakan media sebagai sarana untuk emngendalikan masyarakat Indonesia dan melakukan propaganda. Jepang banyak membawa masuk film-film yang berasal dari negaranya dan dipertontonkan di Jawa. Film-film tersebut banyak berisi tentang Jepang itu sendiri, budayanya, kebiasaan, pemikiran, dan ideologi yang mereka miliki. Hal tersebut berusaha ditanamkan di pemikiran bangsa Indonesia karena Jepang ingin bahwa pemikiran masyarakat Indonesia serupa dengan pemikiran Jepang. Jepang juga memanfaatkan media lain seperti drama, wayang, tarian, teater, nyanyian dan musik untuk menyukseskan propagandanya.
           

POLITIK DAN KEBIJAKAN KOMUNIKASI

Kebijakan merupakan peraturan yang dibuat untuk mengatur kehidupan manusia, sedangkan kebijakan komunikasi sendiri dibuat untuk melancarkan sub sistem dalam suatu komunikasi. Kebijakan tersebut biasanya dibuat oleh negara untuk mengatur masyarakat di dalamnya. Kebijakan terbut terbentuk setelah adanya sistem komunikasi  yang ada di negara tersebut. Setiap negara pasti memiliki sebuah suatu pola komunikasi yang berjalan lalu membentuk sebuah sistem. Sistem tersebut akan melahirkan sebuah sub-sistem yang memiliki fungsi yang berbeda-beda. Kebijakan komunikasi diartikan oleh UNESCO sebagai kumpulan prinsip dan norma yang sengaja diciptakan untuk mengatur perilaku sistem komunikasi (Abrar 2008). Kebijakan tersebut biasanya dibuat oleh negara untuk mengatur masyarakat di dalamnya. Kebijakan komunikasi dapat dibagi menjadi beberapa jenis seperti Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), Surat Keputusan Menteri, Peraturan Daerah (Perda). Kebijakan-kebijakan tersebut memiliki  penerapan yang berbeda namun tetap memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk meminimaisir kerugian dalam komunikasi di masyarakat.
Kebijakan Publik dibuat oleh pemerintah dan dibuat dengan mengikuti proses pembuatan kebijakan publik yang umum, seperti identifikasi, formulasi, implementasi, dan kontrol. Tahap identifikasi dimulai dengan pengumpulan isu, dan jika isu tersebut sesuai dengan realitas makan pemerintah akan membentuk kebijakan komuniasi yang dapat menjawab isu dalam masyarakat tersebut. Sedangkan perumusan kebijakan komunikasi biasanya muncul dari sistem komunikasi yang berlaku di sebuah negara. Jika sistem komunikasi yang dianut mendorong terciptanya masyarakat informasi, maka konteks perumusan kebijakan komunikasi adalah masyarakat informasi. Kebijakan komunikasi harus menjamin semua pembentukan masyarakat informasi terakomodasi olehnya, serta dapat mengantisipasi perubahan sosial dalam rumusannya.
Kebijakan komunikasi memiliki 2 tujuan yaitu;
  1. Menempatkan proses komunikasi sebagai bagian dari dinamika sosial yang tidak merugikan masyarakat. Hal ini didasarkan bahwa setiap masyarakat dimanapun mereka berada memiliki sebuah bentuk atau proses komunikasi. masyarakatlah yang seharusnya mengendalikan proses komunikasi yang terjadi diantara mereka. Proses komunikasi ini tentu saja memiliki dinamika yang terus berkembang secara naik maupun turun. Tentu saja dinamika ini perlu dijaga agar bergerak ke arah yang positif. Sebuah kebijakan di sini memainkan peranan yang penting yaitu menjamin dinamika sosial masyarakat dapat berjalan secara positif dan bisa meminimalkan ketimpangan-ketimpangan misalnya adanya dominasi dari satu pihak atas pihak lain. Dalam pelaksanaanya masyarakat juga dituntut untuk ikut aktif dalam proses komunikasi bukan hanya pasif dan diharapkan masyarakat dapat mengendalikan dinamika perkembangan mereka sendiri. Maka dalam penyusunan sebuah kebijakan diperlukan keterlibatan pihak masyarakat.
  2. Komunikasi merupakan sesuatu keniscayaan dalam masyarakat. Komunikasi dipandang sebagai sebuah sistem dimana sebuah sistem yang terdiri dari subsistem-subsistem. Ada kalanya subsistem-subsistem berjalan dengan tidak maksimal. Ada masalah, ada hambatan. Maka Kebijakan Komunikasi lahir untuk memperlancar proses berjalannya sistem komunikasi.(Abrar,  2008)
Kebijakan komunikasi setidaknya memiliki 3 bagian penting, antara lain:
 1. Konteks, bagian ini terkait dengan bagimana keterkaitan sebuah kebijakan komunikasi dengansesuatu yang melingkupi kebijakan tersebut, misalnya politik ekonomi dan politik komunikasi.
 2. Domain, domain dalam kebijakan berkaitan dengan muatan nilai yang ada dalam kebijakan komunikasi tersebut, misalnya nilai globalisasi dan ekonomi secara global.
 3. Paradigma, bagian paradigma menurut Abrar condong pada kerangka cita-cita yang menjadi tujuan kebijakan komunikasi tersebut. Misalnya paradigma perilisan sebuah UU ITE terkait dengan tujuan membuat masyarakat menjadi masyarakat informasi. (Aritonang, 2011)