Hubungan Negara dan Masyarakat
John
Locke memaparkan bahwa kehadiran atau nilai eksis kekuasaan dan kedaulatan
negara ada karena terdapat pemberian atau pelimpahan kekuasaan serta juga
kedaulatan dari masyarakat atau rakyatnya. Negara ada karena masyarakat dan
negara mempunyai kewajiban untuk melindungi hak-hak yang ada pada masyarakatnya.
Sedangkan, Rousseau menyatakan bahwa negara serta rakyatnya adalah suatu gabungan
yang menyatu atau tidak dapat dipisahkan. Adapun suatu negara dapat terbentuk
karena terdapat keinginan dari masyarakatnya untuk mengedepankan keinginan
bersama mereka. Apa yang menjadi
kehendak masyarakat, itu juga menjadi kehendak negara, dan begitu juga
sebaliknya.
George
Willhelm menyatakan bahwa sebuah negara harus memiliki keinginan atau inisiatif
untuk melakukan suatu hal yang baik demi kepentingan rakyatnya. Sedangkan
menurut Karl Marx negara merupakan alat bagi kaum kapitalis untuk melakukan
dominasi dan eksploitasi pada kaum buruh.
Teori Mengenai Negara dan Masyarakat
Teori Pluralis
Teori
pluralis memaparkan tentang proses politik yang terjadi di suatu negara. Sebuah
negara pasti mempunyai pluralisasi dari kekuasaan baik di bidang sosial
politik, dimana akan ada kekuatan yang mendominasi dan ada yang didominasi. Terdapat
ketidakseimbangan dalam suatu negara.
Teori Organis
Teori
Organis melihat bahwa sebuah negara harus terus bertindak aktif dan memiliki
inisiatif untuk menentukan keputusan-keputusan politik demi pembangunan negara
yang baik. Teori organis meihat bahwa sebuah negara tidak seimbang karena
terdapat kaum dominasi dan sub-ordinan.
Teori Marxis
Teori
Marxis mengemukakan bahwa meskipun sebuah negara memiliki kuasa atas kaum
buruh, namun saat dihadapkan dengan kapitalisme, negara bukanlah berada di
kekuasaan tertinggi. Terdapat peluang negara menjadi di bawah kaum kapitalisme.
Teori Intergralistik
Teori
Intergralistik mengedepankan paham tentang persatuan dan kesatuan negara. Negara
dan masyarakat adalah dua individu yang harus saling bersatu dengan asas
kekeluargaan serta gotong royong.
Model Hubungan Pers
Antara
pers, negara, serta masyarakat dibagi menjadi dua model, yaitu: model dominatif
serta model pluralistik. Model dominatif memaparkan bahwa dalam suatu negara
mempunyai kaum dominan, yang mengakibatkan bias media terutama dalam hal
ekonomi politik. Sedangkan dalam model pluralistik, terdapat distribusi
kekuasaan antar kelompok sosial politik yang bersifat non negara. Teori ini
memandang media dikuasai bukan hanya oleh negara tapi juga masyarakat, sehingga
media juga berorientasi pada masyarakat.
Indonesia Raya 1968-1974
Surat
kabar Indonesia Raya pernah berhenti beroperasi dikarenakan masalah terkait manajemen,
namun masalah tersebut dapat diselesaikan dan Indonesia Raya dapat beroperasi
kembali sejak 30 Oktober 1968. Pada awal penerbitannya, Indonesia Raya dicetak
sebanyak 20.000 eksemplar/hari dan terus menerus meningkat hingga 22.000
eksemplar pada tahun 1969. Pada tahun 1974 cetakanIndonesia Raya mencapai 41.000
eksemplar sebelum akhirnya terjadi pembredelan. Pembredelan dilakukan dengan
mencabut Surat Izin Cetak (SIC) dan Surat Izin Terbit (SIT).
Peristiwa Malari
Pada
16 Januari, surat kabar Harian Nusantara dibredel karena menurut pemerintah
konten Harian Nusantara bersifat menghasut rakyat. Pada 19 Januari SIC Suluh
Berita Surabaya dicabut izinnya oleh Pelaksana Khusus Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah. 20 Januari SIC Mahasiswa Indonesia
Bandung dicabut oleh Laksus Pangkopkamtibda Jabar. 21 Januari SIC Kami,
Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang, dan Pemuda Indonesia
dicabut.
Pada
tanggal 2 Februari 1974, SIC Mingguan Indonesia Pos dicabut. 13 Februari adanya
pertemuan antara Menteri Penerangan, PWI Pusat, dan SPS Pusat. Pemerintah
mengingatkan pers untuk tetap berpegang teguh pada 3 konsensus. 16 Februari SIT
The Indonesia Times dan Pelita terbit. 1 Maret semua surat kabar yang ada di
Palembang, Jambi, dan Lampung wajib memiliki SIC. 24 Maret semua penerbitan
pers di Sumatera Utara diwajibkan memiliki surat pernyataan tidak keberatan
melakukan profesi di penerbitan lain. 2 Mei The Jakarta Times menerima SIT
baru. 21 Juni 1974, wakil redaksi Indonesia Raya ditahan. 4 Februari 1975,
pemimpin umum dan pemimpin redaksi Indonesia Raya ditahan. Terakhir, pada
tanggal 7 Agustus 1975, penerbitan di Sulawesi Utara dan Tengah diwajibkan
memiliki SIC.
Awal
Tangan Besi Legislatif
Pada
masa Orde Baru, diterbitkan UU No.11 tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar
Pers, Bab 2 Pasal 4 yang berisi “Pers nasional tidak dapat disensor atau
dikendalikan” dan Pasal 5 Ayat 1 “Kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari
hak-hak dasar warga negara” dan Bab 4 Pasal 8 Ayat 2 “Penerbitan tidak
memerlukan surat izin apa pun”. Namun, tidak seperti yang tertulis,
penerbit-penerbit surat kabar membutuhkan Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat
Izin Cetak (SIC). Tanpa keduanya, surat kabar akan di bredel (Hill, 2011:35).
Gelombang
Beredel di 1970-an
Sejak
tahun 1970, terjadi semakin banyak pembredelan dari pemerintah yang menjadi
awal perpecahan antara pemerintah dan pers. Pada Juli 1971, terjadi pencabutan
surat ijin pada redaksi Harian Kami dan Duta. Januari 1974, terjadi
aksi-aksi demonstrasi di Jakarta karena adanya ketidakpuasan masyarakat
terhadap kebijakan pemerintah yang mengakibatkan 470 demonstran ditangkap.
Operasi
Pencabutan Izin di Periode 1980-an
Pada
tahun 1980-an, pembredelan kembali terjadi di beberapa kantor media dan pers. Salah
satu kantor berita yang terkena dampaknya yaitu Jurnal Ekuin yang menuliskan
berita tentang penurunan harga ekspor minyak oleh pemerintah. Berita ini dinilai
tidak sesuai dengan nilai sistem pers Pancasila.
Beredel
Anakronistis di Periode 1990-an
Tahun
1990-an menandakan tahun kebebasan pers, yang juga disertai konflik. Pada 21
Juni 1994, Menteri Penerangan mencabut izin beberapa media seperti Tempo,
Detik, serta Editor dengan alasan mereka memuat konten tentang bisnis keluarga
presiden, pelanggaran HAM, dan lain-lain. Tindakan pemerintah ini akhirnya memunculkan
Kelompok Solidaritas Indonesia yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak
kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan lain-lain.
Perizinan
dan Peraturan Pemerintah
Dalam
campur tangannya, selain memberikan hukuman, pemerintah juga memberikan
iming-iming. Departemen Penerangan mencanangkan program Koran Masuk Desa untuk
meningkatkan literasi membaca masyarakat Indonesia. Program ini ada karena 80%
masyarakat Indonesia belum terjamah produk pers. (Hill, 2011:52). Bulan
September 1982, Departemen Penerangan mengganti Surat Izin Terbit dengan Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Pers
Pinggiran
Pers
pinggiran merupakan pers yang tidak mengutamakan nilai jual atau nilai komersil,
dan memiliki sirkulasi yang cukup terbatas. Keuntungan penjualan pers pinggiran
biasanya digunakan untuk menutupi biaya produksi selanjutnya. Pers pinggiran
dapat berdiri hanya dengan izin Surat Tanda Terdaftar (STT).
Pers
Mahasiswa
Pers
Mahasiswa dimulai sejak tahun 1955 dan dikelola oleh mahasiswa dari berbagai universitas.
Pada tahun 1958, Pers Mahasiswa mendapat kesulitan karena mendapat tekanan
politik dan ekonomi hingga tahun 1965 dikarenakan surat kabar diwajibkan
bekerjasama dengan partai politik tertentu sehingga netralitas yang coba
dijunjung oleh Pers Mahasiswa semakin langka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar