Minggu, 07 April 2019

KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI ERA ORDE BARU



Hubungan Negara dan Masyarakat
            John Locke memaparkan bahwa kehadiran atau nilai eksis kekuasaan dan kedaulatan negara ada karena terdapat pemberian atau pelimpahan kekuasaan serta juga kedaulatan dari masyarakat atau rakyatnya. Negara ada karena masyarakat dan negara mempunyai kewajiban untuk melindungi hak-hak yang ada pada masyarakatnya. Sedangkan, Rousseau menyatakan bahwa negara serta rakyatnya adalah suatu gabungan yang menyatu atau tidak dapat dipisahkan. Adapun suatu negara dapat terbentuk karena terdapat keinginan dari masyarakatnya untuk mengedepankan keinginan bersama mereka. Apa yang  menjadi kehendak masyarakat, itu juga menjadi kehendak negara, dan begitu juga sebaliknya.  
            George Willhelm menyatakan bahwa sebuah negara harus memiliki keinginan atau inisiatif untuk melakukan suatu hal yang baik demi kepentingan rakyatnya. Sedangkan menurut Karl Marx negara merupakan alat bagi kaum kapitalis untuk melakukan dominasi dan eksploitasi pada kaum buruh.

Teori Mengenai Negara dan Masyarakat

Teori Pluralis
Teori pluralis memaparkan tentang proses politik yang terjadi di suatu negara. Sebuah negara pasti mempunyai pluralisasi dari kekuasaan baik di bidang sosial politik, dimana akan ada kekuatan yang mendominasi dan ada yang didominasi. Terdapat ketidakseimbangan dalam suatu negara.

Teori Organis
Teori Organis melihat bahwa sebuah negara harus terus bertindak aktif dan memiliki inisiatif untuk menentukan keputusan-keputusan politik demi pembangunan negara yang baik. Teori organis meihat bahwa sebuah negara tidak seimbang karena terdapat kaum dominasi dan sub-ordinan.

Teori Marxis
Teori Marxis mengemukakan bahwa meskipun sebuah negara memiliki kuasa atas kaum buruh, namun saat dihadapkan dengan kapitalisme, negara bukanlah berada di kekuasaan tertinggi. Terdapat peluang negara menjadi di bawah kaum kapitalisme.

Teori Intergralistik
Teori Intergralistik mengedepankan paham tentang persatuan dan kesatuan negara. Negara dan masyarakat adalah dua individu yang harus saling bersatu dengan asas kekeluargaan serta gotong royong.



Model Hubungan Pers
            Antara pers, negara, serta masyarakat dibagi menjadi dua model, yaitu: model dominatif serta model pluralistik. Model dominatif memaparkan bahwa dalam suatu negara mempunyai kaum dominan, yang mengakibatkan bias media terutama dalam hal ekonomi politik. Sedangkan dalam model pluralistik, terdapat distribusi kekuasaan antar kelompok sosial politik yang bersifat non negara. Teori ini memandang media dikuasai bukan hanya oleh negara tapi juga masyarakat, sehingga media juga berorientasi pada masyarakat.

Indonesia Raya 1968-1974
            Surat kabar Indonesia Raya pernah berhenti beroperasi dikarenakan masalah terkait manajemen, namun masalah tersebut dapat diselesaikan dan Indonesia Raya dapat beroperasi kembali sejak 30 Oktober 1968. Pada awal penerbitannya, Indonesia Raya dicetak sebanyak 20.000 eksemplar/hari dan terus menerus meningkat hingga 22.000 eksemplar pada tahun 1969. Pada tahun 1974 cetakanIndonesia Raya mencapai 41.000 eksemplar sebelum akhirnya terjadi pembredelan. Pembredelan dilakukan dengan mencabut Surat Izin Cetak (SIC) dan Surat Izin Terbit (SIT).

Peristiwa Malari
            Pada 16 Januari, surat kabar Harian Nusantara dibredel karena menurut pemerintah konten Harian Nusantara bersifat menghasut rakyat. Pada 19 Januari SIC Suluh Berita Surabaya dicabut izinnya oleh Pelaksana Khusus Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah. 20 Januari SIC Mahasiswa Indonesia Bandung dicabut oleh Laksus Pangkopkamtibda Jabar. 21 Januari SIC Kami, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang, dan Pemuda Indonesia dicabut.
            Pada tanggal 2 Februari 1974, SIC Mingguan Indonesia Pos dicabut. 13 Februari adanya pertemuan antara Menteri Penerangan, PWI Pusat, dan SPS Pusat. Pemerintah mengingatkan pers untuk tetap berpegang teguh pada 3 konsensus. 16 Februari SIT The Indonesia Times dan Pelita terbit. 1 Maret semua surat kabar yang ada di Palembang, Jambi, dan Lampung wajib memiliki SIC. 24 Maret semua penerbitan pers di Sumatera Utara diwajibkan memiliki surat pernyataan tidak keberatan melakukan profesi di penerbitan lain. 2 Mei The Jakarta Times menerima SIT baru. 21 Juni 1974, wakil redaksi Indonesia Raya ditahan. 4 Februari 1975, pemimpin umum dan pemimpin redaksi Indonesia Raya ditahan. Terakhir, pada tanggal 7 Agustus 1975, penerbitan di Sulawesi Utara dan Tengah diwajibkan memiliki SIC.

 Awal Tangan Besi Legislatif
Pada masa Orde Baru, diterbitkan UU No.11 tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers, Bab 2 Pasal 4 yang berisi “Pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan” dan Pasal 5 Ayat 1 “Kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara” dan Bab 4 Pasal 8 Ayat 2 “Penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun”. Namun, tidak seperti yang tertulis, penerbit-penerbit surat kabar membutuhkan Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Cetak (SIC). Tanpa keduanya, surat kabar akan di bredel (Hill, 2011:35).

Gelombang Beredel di 1970-an
Sejak tahun 1970, terjadi semakin banyak pembredelan dari pemerintah yang menjadi awal perpecahan antara pemerintah dan pers. Pada Juli 1971, terjadi pencabutan surat ijin pada redaksi Harian Kami dan Duta.  Januari 1974, terjadi aksi-aksi demonstrasi di Jakarta karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang mengakibatkan 470 demonstran ditangkap.

Operasi Pencabutan Izin di Periode 1980-an
Pada tahun 1980-an, pembredelan kembali terjadi di beberapa kantor media dan pers. Salah satu kantor berita yang terkena dampaknya yaitu Jurnal Ekuin yang menuliskan berita tentang penurunan harga ekspor minyak oleh pemerintah. Berita ini dinilai tidak sesuai dengan nilai sistem pers Pancasila.

Beredel Anakronistis di Periode 1990-an
Tahun 1990-an menandakan tahun kebebasan pers, yang juga disertai konflik. Pada 21 Juni 1994, Menteri Penerangan mencabut izin beberapa media seperti Tempo, Detik, serta Editor dengan alasan mereka memuat konten tentang bisnis keluarga presiden, pelanggaran HAM, dan lain-lain. Tindakan pemerintah ini akhirnya memunculkan Kelompok Solidaritas Indonesia yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan lain-lain.

Perizinan dan Peraturan Pemerintah
Dalam campur tangannya, selain memberikan hukuman, pemerintah juga memberikan iming-iming. Departemen Penerangan mencanangkan program Koran Masuk Desa untuk meningkatkan literasi membaca masyarakat Indonesia. Program ini ada karena 80% masyarakat Indonesia belum terjamah produk pers. (Hill, 2011:52). Bulan September 1982, Departemen Penerangan mengganti Surat Izin Terbit dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Pers Pinggiran
Pers pinggiran merupakan pers yang tidak mengutamakan nilai jual atau nilai komersil, dan memiliki sirkulasi yang cukup terbatas. Keuntungan penjualan pers pinggiran biasanya digunakan untuk menutupi biaya produksi selanjutnya. Pers pinggiran dapat berdiri hanya dengan izin Surat Tanda Terdaftar (STT). 

Pers Mahasiswa
Pers Mahasiswa dimulai sejak tahun 1955 dan dikelola oleh mahasiswa dari berbagai universitas. Pada tahun 1958, Pers Mahasiswa mendapat kesulitan karena mendapat tekanan politik dan ekonomi hingga tahun 1965 dikarenakan surat kabar diwajibkan bekerjasama dengan partai politik tertentu sehingga netralitas yang coba dijunjung oleh Pers Mahasiswa semakin langka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar